Cara Mempelajari Bahasa Melayu

Perbedaan Ejaan Huruf dan Kata

Perlu diingat bahwa pengucapan ini hanya berlaku mutlak untuk mengeja huruf satu demi satu. Artinya, terdapat perbedaan pada pengucapannya saat huruf-huruf sudah tersusun dalam sebuah kata.

Contohnya, adalah huruf H dengan pengucapan "eich", bunyinya akan menjadi "ha" seperti dalam bahasa Indonesia saat dipakai dalam kata seperti house atau hamster.

Namun, bisa juga mati atau tidak terdengar seperti dalam kata hour, honest. Contoh lainnya, huruf U dibaca "yu". Saat menjadi kata, bunyinya menjadi "a". Misalnya dalam kata up, ugly, until.

Contoh lain adalah huruf K dengan pelafalan "kei", saat dibentuk jadi kata "knee" atau "know", maka huruf K di bagian depan akan hilang. Tapi berbeda dengan "key" yang harus tetap dilafalkan dengan jelas di bagian huruf "K".

Demikian cara mengeja abjad bahasa Inggris. Selamat belajar!

Sebagaimana yang telah menjadi keyakinan dalam diri kita bahwa jalan yang memberi kita jaminan keselamatan dan kenikmatan Islam adalah satu dan tidak berbilang-bilang. Jalan tersebut yaitu mengilmui dan mengamalkan ajaran Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dipahami oleh para sahabatnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ، لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ

“Aku tinggalkan sesuatu bersama kalian, jika kamu berpegang teguh padanya, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (HR. Imam Malik dalam Al-Muwaththa’, 2: 899) [1]

Dan Allah Ta’ala telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an karena bahasa Arab adalah bahasa terbaik yang pernah ada. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya Kami telah jadikan Al-Quran dalam bahasa Arab supaya kalian memikirkannya.” (QS. Yusuf [12]: 2)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat di atas, ”Karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, paling jelas, paling luas, dan paling banyak pengungkapan makna yang dapat menenangkan jiwa. Oleh karena itu, kitab yang paling mulia ini (yaitu Al-Qur’an, pen.) diturunkan dengan bahasa yang paling mulia (yaitu bahasa Arab, pen.).” [2]

Oleh karena itu tidak perlu diragukan lagi, memang sudah seharusnya bagi seorang muslim untuk mencintai bahasa Arab dan berusaha menguasainya. Hal ini ditegaskan oleh firman Allah Ta’ala,

وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ  نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ  عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ  بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ

“Dan sesungguhnya Al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Pencipta Semesta Alam,  dia dibawa turun oleh Ar-ruh Al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy-Syu’ara [26]: 192-195)

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat di atas,

”Bahasa Arab adalah bahasa yang paling mulia. Bahasa Rasul yang diutus kepada mereka dan menyampaikan dakwahnya dalam bahasa itu pula. Bahasa yang jelas dan gamblang. Dan renungkanlah bagaimana berkumpulnya keutamaan-keutamaan yang baik ini. Al-Qur’an adalah kitab yang paling mulia, diturunkan melalui malaikat yang paling utama, diturunkan kepada manusia yang paling utama pula, dimasukkan ke dalam bagian tubuh yang paling utama, yaitu hati, untuk disampaikan kepada umat yang paling utama, dengan bahasa yang paling utama dan paling fasih yaitu bahasa Arab yang jelas.” [3]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

“Sesungguhnya ketika Allah menurunkan kitab-Nya dan menjadikan Rasul-Nya sebagai penyampai risalah (Al-Kitab) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta menjadikan generasi awal agama ini berkomunikasi dengan bahasa Arab. Maka tidak ada jalan lain dalam memahami dan mengetahui ajaran Islam kecuali dengan bahasa Arab. Oleh karena itu, memahami bahasa Arab merupakan bagian dari agama. Keterbiasaan berkomunikasi dengan bahasa Arab mempermudah kaum muslimin memahami agama Allah Ta’ala dan menegakkan syiar-syiar agama ini, serta memudahkan dalam mencontoh generasi awal dari kaum Muhajirin dan Anshar dalam keseluruhan perkara mereka.” [4]

Beliau rahimahullah juga berkata,

“Dan sesungguhnya bahasa Arab itu sendiri bagian dari agama. Hukum mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah itu wajib, dan keduanya tidaklah bisa dipahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Hal ini sesuai dengan kaidah di dalam ilmu ushul fiqh: sebuah kewajiban yang tidak akan sempurna (pelaksanaannya) kecuali dengan melakukan sesuatu (yang lain), maka sesuatu yang lain tersebut hukumnya juga menjadi wajib. Namun di sana ada bagian dari bahasa Arab yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah.” [5]

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan,

فعلى كل مسلم أن يتعلم من لسان العرب ما بلغه جهده حتى يشهد به أن لا إله إلا الله وأن محمد عبده ورسوله ويتلوا به كتاب الله …

“Maka wajib atas setiap muslim untuk mempelajari bahasa Arab sekuat kemampuannya. Sehingga dia bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah Ta’ala dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan dengannya dia bisa membaca kitabullah … “ [6]

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa Arab adalah bahasa agama Islam dan bahasa Al-Qur’an. Kita tidak akan bisa memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman yang benar dan selamat (dari penyelewengan) kecuali dengan bekal bahasa Arab. Menyepelekan dan menggampangkan bahasa Arab akan mengakibatkan lemah dalam memahami agama serta jahil (bodoh) terhadap berbagai permasalahan agama.

Disempurnakan ba’da dzuhur, Rotterdam NL, 24 Sya’ban 1438/20 Mei 2017

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

[1] Dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Misykaatul Mashaabih, hadits no. 186.

[2] Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, 4: 365.

[3] Taisiir Karimir Rahman, hal 598.

[4] Iqtidha’ Shirotil Mustaqim, hal. 162.

[5] Iqtidha’ Shirotil Mustaqim, hal. 207.

[6] Ar-Risalah, 1: 48.

Bahasa Melayu mudah dapat A sebab kita jumpa cikgu Bahasa Melayu hari-hari atau sehari sahaja tak ada. Oleh itu, jangan buang masa di sekolah sebab anda kena mahir tatabahasa dan KOMSAS di sekolah kerana apabila di rumah boleh baca buku untuk subjek lain yang susah.

Kita selalu dengar kalau nak pandai Bahasa Inggeris kena buka kamus. Sama juga dengan Bahasa Melayu, bukalah kamus. Anda kena mahir ABC kalau nak buka kamus sebab anda perlu tahu sebelum huruf S adalah huruf R, selepas huruf J adalah huruf K. Hal ini disebabkan supaya kita mudah nak buka kamus.

Tak perlu tulis ayat-ayat “mahal”, “bombastik” atau ayat-ayat yang tinggi sebab nanti banyak salah pula dari segi penggunaan kosa kata. Kalau memang tak pernah guna ayat itu, jangan pandai-pandai guna. Apa yang penting adalah pandai cari isi dan menghurai. Banyak karangan tanya sebab, cara atasi, kesan, peranan siapa, langkah mencegah, faedah, kelebihan dan keburukan. Oleh itu, anda mesti kait dengan diri, keluarga, masyarakat dan negara pada 4 peranggan isi.

Contohnya kalau baca buku diri sendiri jadi pandai. Keluarga pun turut baca buku dan tidak mudah ditipu sebab pandai. Masyarakat pun berilmu dan berakhlak mulia. Negara dapat manfaatkan ilmu untuk kemajuan dan dipandang tinggi negara lain sebab pandai. Banyak isi yang keluar sejak kita belajar dari sekolah rendah lagi. Cukuplah tahu 4 isi dan pandai-pandai hurai dan bagilah contoh.

Pendahuluan pun boleh tengok dari buku rujukan dan lain-lain. Memang akan jumpalah dewasa ini, pada era globalisasi yang menerjah dunia dan sebagainya. Penutup pula akan jumpa peribahasa, konklusinya, sebagai intiha, pihak kerajaan hendaklah berganding bahu dan lain-lain. Manakala penyambung ayat pula akan jumpa oleh itu, sementelahan pula, tambahan pula, sungguhpun begitu dan sebagainya.

Kalau tulis karangan jangan harap nak buat panjang-panjang. Semakin panjang karangan, semakin banyak salah tatabahasa dan semakin banyak markah ditolak. Apa yang penting adalah tatabahasa, kalau dah tahu tatabahasa, sudah tentu boleh tulis karangan dengan baik. Jangan risau format karangan sebab markah yang ditolak adalah sikit dan bukannnya ada banyak soalan berformat yang keluar. Kalau keluar pun, belum tentu anda buat sebab tak cukup isi nak tulis.

Kalau novel itu tak perlu baca soalan ramalan dan biasanya ramalan tak tepat. Baca tajuk soalan yang tak pernah keluar sebelum ini saja. Kalau cikgu cerita tentang novel atau KOMSAS tu dengarlah baik-baik sebab akan keluar macam itu saja soalannya. Kalau malas baca buku tebal-tebal, bacalah buku rujukan yang ada sinopsis, plot, watak dan perwatakan, nilai dan pengajaran dan sebagainya. Memang kalau tak baca langsung, memang tak boleh nak jawab.

Cikgu pun dah pesan apabila buat soalan pengajaran mesti ada ayat “kita hendaklah”, atau “kita mestilah”. Tambahan pula dalam ringkasan cikgu pesan supaya tajuk seperti “kesan” ubah jadi “punca”, kalau “faedah” ubah jadi “manfaat” dan sebagainya. Pendahuluan pertama mestilah mula dengan “Petikan membincangkan …” dan sebagainya.

Oleh itu, dengar saja apa yang cikgu cakap di dalam kelas sudah cukup. Kalau cikgu suruh buat kerja sekolah, buatlah cepat-cepat dan tak perlu nak ulangkaji penat-penat di rumah. Cukup ikut cikgu sahaja.

Semua nota dan artikel dalam blog ini boleh disebarkan

secara percuma dengan syarat ada pautan balik

http://www.ketam.pja.my

Sebelum kedatangan pedagang India ke Kepulauan Melayu, bahasa yang digunakan oleh masyarakat setempat dikenali sebagai Bahasa Melayu Purba. Bahasa ini kemudiannya dinamakan Bahasa Melayu Kuno setelah mendapat pengaruh India. Bahasa Melayu Kuno mencapai kegemilangannya dari abad ke-7 hingga abad ke-13 pada zaman kerajaan Sriwijaya sebagai lingua franca dan bahasa pentadbiran. Mereka yang bertutur bahasa Melayu Kuno merangkumi Riau dan Sumatra dan semenanjung Tanah Melayu . Bahasa Melayu Kuno diterima ramai kerana:

Bahasa Melayu Kuno banyak dipengaruhi oleh sistem bahasa Sanskrit dan bahasa Tamil pallava. Ini adalah kerana kebanyakan masyarakat Melayu ketika itu beragama Hindu yang telah dibawa masuk oleh Raja Pallava yang berbangsa Tamil dan Bahasa Sanskrit sebagai bahasa rasmi agama Hindu.Selain itu, sifat bahasa Melayu yang mudah dilentur mengikut keadaan juga antara penyebab bahasa asing seperti sanskrit diterima. Ini boleh dibuktikan daripada pengaruh tulisan atau aksara Pallava (Tulisan Pallava)/tulisan Tamil purba) dari Kanchipuram,Tamil Nadu dan Devanagari yang datang dari India, kata-kata pinjaman daripada bahasa Sanskrit, rangkai-rangkai kata pinjaman daripada bahasa Sanskrit, dan fonem-fonem Sanskrit. Kesan daripada bahasa sanskrit ini menyebabkan penambahan kosa kata Bahasa Melayu Kuno. Contoh contoh perkataan yang diambil daripada Bahasa Sanskrit adalah seperti syukasyitta, athava, karana, tatakala dan sebagainya. Bahasa Melayu Kuno tidak mempunyai pengaruh Parsi atau Arab.

Perkaitan antara Bahasa Melayu Kuno dan Bahasa Melayu Moden dapat dilihat daripada perkataan-perkataan yang kekal daripada dahulu sehingga sekarang seperti curi, makan, tanam, air dan sebagainya, serta perkataan yang mempunyai bentuk atau format yang serupa seperti dalam jadual jadual di bawah:

Penggunaan awalan di- dalam Bahasa Melayu Moden sama dengan awalan ni- dalam Bahasa Melayu Kuno dan awalan diper- sama seperti nipar-.Ni bermaksud kamu dalam bahasa Tamil.

Awalan ber- dalam Bahasa Melayu moden hampir sama dengan awalan mar- dalam Bahasa Melayu Kuno.

Akhiran -na yang digunakan dalam Bahasa Melayu Kuno sama dengan -nya pada masa kini.

Secara ringkasnya berikut merupakan ciri ciri Bahasa Melayu Kuno

Salah satu bukti sejarah bahasa Melayu yang penting ialah batu bersurat. Beberapa batu telah ditemui di sekitar Sumatera dan Jawa yang memperlihatkan penggunaan Bahasa Melayu kuno pada abad ke-7. Tulisan yang digunakan ialah aksara Pallava iaitu sejenis tulisan yang berasal dari selatan India. Berikut adalah antara batu bersurat yang ditemui.

Pengaruh agama Hindu dan Buddha cukup kuat dalam bahasa dan budaya pada zaman bahasa Melayu kuno. Bahkan banyak candi yang dibina di Alam Melayu yang dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Buddha dari India, seperti candi-candi di Lembah Bujang, Muara Takus dan Pagarruyung di Sumatera, dan candi Borobodur dan Prambanan di Pulau Jawa.

Bahasa Melayu juga merupakan bahasa yang diguna pakai dalam kerajaan Melayu kuno. Kerajaan-kerajaan Melayu kuno yang diketahui adalah (tidak menurut sebarang susunan) ialah

Bahasa Melayu mula digunakan pada alaf pertama yang dikenali sebagai Bahasa Melayu Kuno, iaitu bahasa di bawah rumpun bahasa Austronesia. Dalam tempoh dua alaf, bahasa Melayu telah melalui pelbagai fasa perkembangan yang terdiri daripada lapisan demi lapisan pengaruh asing yang berbeza melalui perdagangan antarabangsa, pengembangan agama, penjajahan dan perkembangan trend sosiopolitik baharu. Bentuk bahasa Melayu tertua berasal daripada bahasa Melayu-Polinesia Purba yang dituturkan oleh peneroka Austronesia terawal di Asia Tenggara. Menurut beberapa penyelidik linguistik, bentuk ini kemudiannya berkembang menjadi Bahasa Melayu Kuno selepas penembusan budaya dan keagamaan India ke rantau tersebut, berkemungkinan besar menggunakan tulisan Kawi dan Rencong. Bahasa Melayu Kuno mengandungi beberapa istilah yang wujud pada hari ini, tetapi tidak dapat difahami oleh penutur moden, manakala istilah-istilah Bahasa Melayu Moden sudah banyak yang boleh dikenalpasti bentuknya melalui bahasa Melayu Klasik pada tahun 1303 Masihi.[2]

Bahasa Melayu berkembang secara meluas menjadi bahasa Melayu Klasik melalui kemasukan beransur-ansur pelbagai unsur perbendaharaan kata Arab dan Parsi apabila Islam mula bertapak di rantau ini. Pada mulanya, bahasa Melayu Klasik merupakan satu kumpulan dengan kepelbagaian dialek, yang mencerminkan asal-usul pelbagai kerajaan Melayu di Asia Tenggara. Salah satu daripada dialek-dialek tersebut yang berkembang dalam tradisi kesusasteraan Melaka pada abad ke-15, akhirnya menjadi dominan. Pengaruh kuat Melaka dalam perdagangan antarabangsa di rantau ini menyebabkan bahasa Melayu menjadi lingua franca dalam perdagangan dan diplomasi, dan status ini bertahan dari zaman kesultanan-kesultanan Melayu yang seterusnya, era penjajahan Eropah hinggalah ke zaman moden. Dari abad ke-19 hingga ke-20, bahasa Melayu berkembang secara progresif melalui penambahbaikan ketara tatabahasa dan pengayaan leksikal sehingga menjadi sebuah bahasa moden yang mempunyai lebih daripada 800,000 frasa dalam pelbagai disiplin ilmu.

Bahasa Melayu Purba, juga dikenali sebagai Bahasa Melayik Purba[3] ialah bahasa yang dipercayai wujud pada zaman prasejarah dan dituturkan oleh peneroka Austronesia awal di rantau ini. Bahasa moyangnya iaitu bahasa Proto-Melayu-Polinesia yang berasal dari Bahasa Austronesia Purba, mula terpecah sekurang-kurangnya pada 2000 SM akibat kemungkinan oleh perluasan ke selatan bangsa Austronesia ke Filipina, Borneo, Maluku dan Sulawesi dari pulau Taiwan. Bahasa Proto-Melayu telah dituturkan di Borneo sekurang-kurangnya pada tahun 1000 SM dan, telah dikatakan sebaga bahasa nenek moyang semua dialek Melayu berikutnya. Ahli bahasa umumnya bersetuju bahawa tanah air rumpun Melayu adalah di Borneo, berdasarkan penyebaran geografinya di pedalaman, variasinya yang bukan disebabkan oleh perubahan yang disebabkan oleh sentuhan, dan wataknya yang kadangkala konservatif.[4] Sekitar awal milenium pertama, penutur bahasa Melayu telah menubuhkan penempatan di kawasan pantai moden Vietnam Tengah Selatan, Sumatera, semenanjung Tanah Melayu, Borneo, Luzon, Sulawesi, Kepulauan Maluku, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka-Belitung dan Kepulauan Jawa-Bali.[5]

Permulaan era ini menyaksikan pengaruh tamadun India yang semakin meluas di Nusantara. Dengan penembusan dan percambahan perbendaharaan kata Bahasa Tamil Kuno dan pengaruh agama-agama utama India seperti Hinduisme dan Buddha, Bahasa Melayu Purba berkembang menjadi Bahasa Melayu Kuno. Batu bersurat Dong Yen Chau, dipercayai dari abad ke-4 M, ditemui di barat laut Tra Kieu, berhampiran ibu kota lama Champa di Indrapura, Vietnam moden,[7][8][9] walaupun kelihatan mempunyai persamaan dengan bahasa Melayu pada masa kini, tetapi ia dianggap ditulis dalam bahasa Cam Kuno berbanding bahasa Melayu Kuno oleh pakar seperti Graham Thurgood. Spesimen tertua bahasa Melayu Kuno yang tiada pertikaian ialah Batu Bersurat Sojomerto pada abad ke-7 M dari Jawa Tengah, Prasasti Kedukan Bukit dari Sumatera Selatan di Indonesia, dan beberapa prasasti abad ke-7 hingga abad ke-10 lain yang ditemui di Sumatera dan Jawa di Indonesia, pulau-pulau lain di kepulauan Sunda, serta Luzon di Filipina. Semua batu-batu bersurat Melayu Kuno ini menggunakan sama ada skrip asal India seperti Pallava, Nagari atau aksara Sumatera Kuno yang mempunyai pengaruh dari India.[10]

Sistem bahasa pada Bahasa Melayu Kuno banyak dipengaruhi oleh kitab Sanskrit dari segi fonem, morfem, kosa kata dan ciri kesarjanaan, terutamanya sekali bila perkataan tersebut berkait rapat dengan budaya India seperti puja, bakti, kesatria, maharaja dan raja, serta konsep keagamaan Hindu-Buddha seperti dosa, pahala, neraka, syurga atau surga (digunakan dalam bahasa Indonesia yang bertunjang kepada bahasa Melayu), puasa, sami dan biara, dan penggunaan kata-kata tersebut kekal sehingga hari ini. Malah, sesetengah orang Melayu tanpa mengira agama peribadi mempunyai nama yang berasal daripada bahasa Sanskrit seperti nama dewa-dewi atau pahlawan Hindu India termasuklah Puteri, Putera, Wira dan Wati.

Terdapat satu pendapat masyhur yang mendakwa bahawa Bahasa Melayu Kuno (seperti yang terukir pada batu bersurat Srivijaya dari Sumatera Selatan di Indonesia) ialah nenek moyang setara kepada Bahasa Melayu Klasik. Walau bagaimanapun, beberapa ahli bahasa pernah mempersoalkan mengenai hubungan yang tepat antara kedua-dua bahasa ini sama ada hubungan mereka adalah hubungan moyang-cicit ataupun tidak.[11] Ini kerana terdapat beberapa kejanggalan dari segi morfologi, sintaksis dan imbuhan pada Bahasa Melayu Kuno yang selalunya wujud pada keluarga bahasa Batak tetapi tidak ditemui pada batu bersurat ataupun manuskrip tertua Bahasa Melayu Klasik. Maka ada kemungkinan yang bahasa yang terukir pada batu-batu bersurat dari Srivijaya ialah bahasa sepupu terdekat kepada Bahasa Melayu Klasik, bukannya bahasa moyang.[12] Selain itu, walaupun bukti terawal bahasa Melayu Klasik telah ditemui di semenanjung Tanah Melayu sejak 1303 M, bahasa Melayu Kuno tetap digunakan sebagai bahasa bertulis di Sumatera sehingga akhir abad ke-14, dibuktikan daripada Batu Bersurat Bukit Gombak bertarikh 1357,[13] dan naskhah Tanjung Tanah pada zaman Adityavarman (1347–1375).

Zaman Bahasa Melayu Klasik bermula apabila agama Islam bertapak di rantau ini dan kemudian dijunjung sebagai agama serantau. Hasil pengislaman dan pertumbuhan perdagangan dengan dunia Islam, era ini menyaksikan penembusan kosa kata Arab dan Parsi serta integrasi budaya-budaya Islam utama dengan budaya Melayu tempatan. Contoh terawal leksikon Arab yang digabungkan dalam bahasa Melayu pra-Klasik yang ditulis dalam Kawi ditemui pada batu bersurat Minye Tujoh bertarikh 1380 M dari Aceh di Sumatera. Namun begitu, bahasa Melayu pra-Klasik ini mengambil bentuk yang lebih radikal lebih daripada setengah abad lebih awal seperti yang dibuktikan dalam Batu Bersurat Terengganu pada 1303 M dan juga batu bersurat Pengkalan Kempas (1468 M), dan kedua-duanya adalah dari semenanjung Tanah Melayu. Kedua-dua batu bersurat tersebut bukan sahaja berfungsi sebagai bukti Islam sebagai agama negara tetapi juga sebagai spesimen tertua yang masih hidup dalam bentuk ortografik klasik yang dominan, iaitu tulisan Jawi. Batu bersurat seakan yang mengandungi pelbagai istilah Arab yang diterima pakai dengan beberapa daripadanya yang masih bertulis aksara India juga ditemui di bahagian lain di Sumatera dan Borneo.[14][15]

Bahasa Melayu pra-Klasik berkembang dan mencapai bentuk yang halus semasa zaman kegemilangan empayar Melayu Melaka dan penggantinya Johor bermula dari abad ke-15.[16] Sebagai sebuah bandar pelabuhan yang sibuk dengan penduduk lebih 200 ribu orang dari pelbagai negara yang berbeza; Melaka menjadi tempat pertembungan kepelbagaian budaya dan bahasa terbesar di Asia Tenggara pada masa itu.[17] Terdapat lebih banyak perkataan pinjaman daripada bahasa-bahasa Arab, Parsi, Tamil dan Cina yang diserap dan tempoh itu menyaksikan kemekaran sastera Melayu Klasik serta pembangunan yang profesional dari segi kepimpinan diraja dan pentadbiran awam. Berbeza dengan bahasa Melayu Kuno, tema sastera Melaka telah berkembang melangkaui karya-karya belles-letters (susastera) dan karya teologi, terbukti dengan kemasukan perakaunan, undang-undang maritim, nota kredit dan lesen perdagangan dalam tradisi sasteranya. Beberapa manuskrip terkemuka di bawah kategori ini ialah Hukum Kanun Melaka dan Undang-Undang Laut Melaka. Tradisi kesusasteraan diperkayakan lagi dengan terjemahan pelbagai karya sastera asing seperti Hikayat Muhammad Hanafiah dan Hikayat Amir Hamzah, dan kemunculan tulisan-tulisan intelektual baharu dalam bidang falsafah, tasawuf, tafsir, sejarah dan lain-lain lagi dalam bahasa Melayu, yang diwakili oleh manuskrip seperti Sulalatus Salatin (juga Sejarah Melayu) dan Hikayat Hang Tuah.[15][18]

Kejayaan Melaka sebagai pusat perdagangan, agama, dan hasil kesusasteraan telah menjadikannya titik rujukan budaya yang penting kepada banyak kesultanan Melayu yang berpengaruh pada abad-abad kemudian. Ini telah menyebabkan semakin pentingnya Bahasa Melayu Klasik sebagai lingua franca tunggal di rantau ini. Melalui hubungan dan perdagangan antara etnik, bahasa Melayu Klasik tersebar melangkaui dunia pertuturan Melayu tradisional[19] dan menghasilkan bahasa perdagangan yang dipanggil Melayu Pasar atau Melayu Rendah,[20] berbanding Melayu Tinggi Melaka-Johor. Malah, Johor juga memainkan peranan penting dalam pengenalan bahasa Melayu ke pelbagai kawasan di bahagian timur Nusantara. Umumnya dipercayai bahawa Melayu Pasar adalah pidgin, mungkin dipengaruhi oleh hubungan antara pedagang Melayu, Cina dan bukan Melayu. Walau bagaimanapun, perkembangan yang paling penting ialah pengkreolan bahasa Melayu pidgin sehingga terlahirnya beberapa bahasa baharu seperti bahasa Melayu Baba, bahasa Melayu Betawi dan bahasa Melayu Indonesia Timur.[21] Selain sebagai alat utama dalam menyebarkan Islam dan aktiviti komersial, bahasa Melayu juga menjadi bahasa mahkamah dan sastera bagi kerajaan-kerajaan di luar wilayah tradisinya seperti Aceh dan Ternate dan juga digunakan dalam komunikasi diplomatik dengan kuasa penjajah Eropah. Ini terbukti daripada surat diplomatik daripada Sultan Abu Hayat II Ternate kepada Raja John III dari Portugal bertarikh 1521 hingga 1522, surat daripada Sultan Alauddin Riayat Shah dari Aceh kepada Kapten Sir Henry Middleton dari Syarikat Hindia Timur bertarikh 1602, dan sepucuk surat emas. surat daripada Sultan Iskandar Muda Aceh kepada Raja James I dari England bertarikh 1615.[22]

Era ini juga menyaksikan minat yang semakin meningkat dalam kalangan warga asing untuk mempelajari bahasa Melayu bagi tujuan perdagangan, misi diplomatik dan aktiviti dakwah. Oleh itu, banyak buku dalam bentuk senarai perkataan atau kamus ditulis. Yang tertua ialah senarai perkataan Cina-Melayu yang disusun oleh pegawai Ming dalam Biro Penterjemah semasa zaman kegemilangan Kesultanan Melaka. Kamus itu dikenali sebagai Man-la-jia Yiyu (滿剌加譯語, Terjemahan Perkataan Melaka) dan mengandungi 482 entri yang dikategorikan kepada 17 bidang iaitu astronomi, geografi, musim dan masa, tumbuh-tumbuhan, burung dan haiwan, rumah dan istana, tingkah laku dan jasad manusia, emas dan barang kemas, sosial dan sejarah, warna, ukuran dan perkataan umum.[23][24] Pada abad ke-16, senarai perkataan itu dipercayai masih digunakan di China apabila pegawai arkib diraja Yang Lin menyemak rekod itu pada 1560 M.[25] Pada 1522, senarai perkataan Eropah-Melayu yang pertama telah disusun oleh seorang penjelajah Itali Antonio Pigafetta, yang menyertai ekspedisi keliling dunia Magellan. Senarai perkataan Itali-Melayu oleh Pigafetta mengandungi kira-kira 426 entri dan menjadi rujukan utama bagi kamus Latin-Melayu dan Perancis-Melayu kemudiannya.[26]

Fasa awal penjajahan Eropah di Asia Tenggara bermula dengan kedatangan Portugis pada abad ke-16, Belanda pada abad ke-17 diikuti oleh British pada abad ke-18. Tempoh ini juga menandakan permulaan Kristianisasi di rantau ini dengan kubu kuatnya di Melaka, Ambon, Ternate dan Batavia. Penerbitan terjemahan Alkitab bermula seawal abad ketujuh belas walaupun terdapat bukti bahawa mubaligh Jesuit, Francis Xavier, menterjemah teks agama yang memasukkan ayat-ayat Alkitab ke dalam bahasa Melayu seawal abad ke-16.[27] Malah, Francis Xavier banyak menumpukan hidupnya untuk misi di hanya empat pusat utama, Melaka, Amboina dan Ternate, Jepun dan China, dua daripadanya berada dalam alam Melayu. Dalam memudahkan kerja-kerja Kristianisasi, buku-buku agama dan manuskrip mula diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu yang mana yang paling awal dimulakan oleh seorang pedagang Belanda alim, Albert Ruyll pada tahun 1611. Buku bertajuk Sovrat ABC dan ditulis dalam abjad Latin bukan sahaja bermaksud memperkenalkan abjad Latin tetapi juga prinsip asas Calvinisme yang merangkumi Sepuluh Perintah, keimanan dan beberapa doa. Karya ini kemudiannya diikuti oleh beberapa terjemahan Melayu lain seperti Injil Mateus dan Markus (1638), Lukas dan Johannes (1646), Injil dan Perbuatan (1651), Kitab Kejadian (1662), Perjanjian Baru (1668) dan Mazmur (1689).[28]

Abad ke-19 adalah zaman penguasaan politik dan komersial Barat yang kuat di kepulauan Melayu. Persempadanan kolonial yang dibawa oleh Perjanjian Inggeris-Belanda 1824 menyebabkan Syarikat Hindia Timur Belanda berjaya menjajah Hindia Timur di selatan manakala Empayar British memegang beberapa jajahan dan negeri naungan di semenanjung Tanah Melayu dan Borneo di utara. Penjajah Belanda dan British, menyedari kepentingan memahami bahasa dan budaya tempatan khususnya bahasa Melayu, mula menubuhkan pelbagai pusat pengajian linguistik, sastera dan budaya di universiti seperti Leiden dan London. Beribu-ribu manuskrip Melayu, serta artifak sejarah budaya Melayu yang lain, dikumpulkan dan dikaji.[29] Penggunaan tulisan Latin mula berkembang dalam bidang pentadbiran dan pendidikan di mana pengaruh kesusasteraan dan bahasa Inggeris dan Belanda mula meresap dan merebak secara beransur-ansur ke dalam bahasa Melayu.

Pada masa yang sama, perkembangan teknologi dalam kaedah percetakan yang membolehkan pengeluaran besar-besaran pada harga rendah meningkatkan aktiviti kepengarangan untuk bacaan umum dalam bahasa Melayu, satu perkembangan yang kemudiannya akan mengalihkan sastera Melayu daripada kedudukan tradisionalnya di mahkamah Melayu.[29] Selain itu, gaya penulisan laporan kewartawanan mula mekar dalam arena penulisan Melayu.

Seorang penulis terkenal ialah Abdullah Munsyi dengan karya terkenalnya, Hikayat Abdullah (1840), Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan (1838) and Kisah Pelayaran Abdullah ke Mekah (1854). Karya Abdullah menandakan peringkat awal dalam peralihan daripada kesusasteraan klasik ke moden, membawa kesusasteraan Melayu daripada keasyikan dengan cerita rakyat dan legenda kepada huraian sejarah yang tepat.[30] Malah, Abdullah sendiri turut membantu Claudius Thomsen, seorang paderi Denmark, dalam menerbitkan majalah Melayu pertama yang dikenali, Bustan Ariffin bertemakan mubaligh Kristian, di Melaka pada 1831, lebih setengah abad lebih awal daripada akhbar Melayu pertama yang diketahui.[31] Abdullah Munsyi dianggap sebagai “Bapa Kesusasteraan Melayu Moden”, sebagai orang Melayu tempatan pertama yang menerbitkan karyanya.

Banyak lagi buku terkenal yang diterbitkan di seluruh Nusantara seperti tiga karya sastera klasik terkenal, Gurindam Dua Belas (1847), Bustanul Katibin (1857) dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858) oleh Raja Ali Haji kelahiran Selangor, dan turut dihasilkan di Riau-Lingga pada masa ini. Menjelang pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20, dunia sastera Melayu turut dimeriahkan oleh sasterawan wanita seperti Raja Aisyah Sulaiman kelahiran Riau-Lingga, cucu Raja Ali Haji sendiri dengan bukunya yang terkenal Hikayat Syamsul Anwar (1890). Dalam buku ini, beliau menyatakan ketidaksetujuannya mengenai perkahwinannya dan keterikatannya dengan tradisi dan istana diraja.

Para ulama Riau-Lingga juga menubuhkan Kelab Rusydiyah, salah satu pertubuhan sastera Melayu yang pertama, untuk melibatkan diri dalam pelbagai aktiviti sastera dan intelektual pada akhir abad ke-19. Ia adalah sekumpulan ulama Melayu, yang membincangkan pelbagai perkara berkaitan dengan penulisan dan penerbitan. Terdapat juga buku-buku agama terkenal pada zaman itu yang bukan sahaja diterbitkan di dalam negara tetapi juga di negara-negara seperti Mesir dan Turki.

Antara contoh surat khabar Melayu yang terawal ialah Soerat Kabar Bahasa Malaijoe Surabaya yang diterbitkan di Hindia Belanda pada tahun 1856, Jawi Peranakan di Singapura, diterbitkan pada tahun 1876 dan Seri Perak dari Taiping yang diterbitkan di Malaya British pada tahun 1893. Malah terdapat sebuah akhbar Melayu yang diterbitkan di Sri Lanka pada 1869, dikenali sebagai Alamat Langkapuri, dianggap akhbar Melayu pertama yang pernah diterbitkan dalam tulisan Jawi.

Dalam pendidikan, bahasa Melayu Melaka-Johor dianggap sebagai bahasa baku dan menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah pada zaman penjajahan. Mulai tahun 1821, sekolah-sekolah Melayu telah ditubuhkan oleh kerajaan jajahan British di Pulau Pinang, Melaka dan Singapura . Ini diikuti oleh ramai lagi di negeri-negeri Melayu di semenanjung. Perkembangan ini menjana penulisan buku teks untuk sekolah, di samping penerbitan bahan rujukan seperti kamus bahasa Melayu dan buku tatabahasa. Selain itu, dorongan penting diberikan ke arah penggunaan bahasa Melayu dalam pentadbiran British, yang mewajibkan setiap penjawat awam dalam perkhidmatan lulus peperiksaan khas dalam bahasa Melayu sebagai syarat untuk disahkan jawatan, seperti yang diterbitkan dalam Warta Kerajaan Selat 1859.

Di Indonesia, kerajaan kolonial Belanda mengiktiraf bahasa Melayu Melaka-Johor yang digunakan di Riau-Lingga sebagai "Melayu Tinggi" dan mempromosikannya sebagai medium komunikasi antara penduduk Belanda dan tempatan. Bahasa ini juga diajar di sekolah bukan sahaja di Riau tetapi juga di Sumatera Timur, Jawa, Kalimantan dan Indonesia Timur.[31]

Perkembangan kesusasteraan Melayu pramoden pada abad ke-19 membawa kepada kebangkitan gerakan intelektual dalam kalangan penduduk tempatan dan kemunculan komuniti baru ahli bahasa Melayu. Penghayatan bahasa semakin bertambah, dan pelbagai usaha dilakukan oleh masyarakat untuk mempertingkatkan lagi penggunaan bahasa Melayu serta mempertingkatkan kebolehannya dalam menghadapi era moden yang mencabar. Antara usaha yang dilakukan ialah perancangan korpus bahasa Melayu, yang pertama kali dimulakan oleh Pakatan Belajar-Mengajar Pengetahuan Bahasa yang ditubuhkan pada 1888. Persatuan ini, dinamakan semula pada tahun 1935 sebagai Pakatan Bahasa Melayu dan Persuratan Buku Diraja Johor terlibat secara aktif dalam menyusun dan menyusun panduan ejaan, kamus, tatabahasa, tanda baca, huruf, esei, peristilahan. dan lain-lain lagi.[32] Penubuhan Kolej Latihan Sultan Idris (SITC) di Tanjung Malim, Perak pada 1922 menggiatkan usaha ini. Pada tahun 1936, Za'ba, seorang sarjana Melayu yang cemerlang dan pensyarah SITC telah menghasilkan buku siri tatabahasa Melayu bertajuk Pelita Bahasa yang memodenkan struktur bahasa Melayu Klasik dan menjadi asas kepada bahasa Melayu yang digunakan pada masa kini.[33] Perubahan yang paling penting ialah dalam sintaks, daripada bentuk pasif klasik kepada bentuk aktif moden. Pada abad ke-20, penambahbaikan lain turut dilakukan oleh persatuan, pertubuhan, institusi kerajaan dan kongres lain di pelbagai bahagian di rantau ini.

Penulisan mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah kesedaran diri dan perjuangan nasionalis di Indonesia dan Malaysia. Selain menjadi alat utama untuk menyebarkan ilmu dan maklumat, akhbar dan jurnal seperti Al-Imam (1906), Panji Poestaka (1912), Lembaga Melayu (1914), Warta Malaya (1931), Poedjangga Baroe (1933) dan Utusan Melayu (1939) menjadi teras utama dalam memperjuangkan dan membentuk perjuangan nasionalisme. Penulisan, sama ada dalam bentuk novel, cerpen, atau puisi, semuanya memainkan peranan tersendiri dalam membangkitkan semangat Kebangkitan Nasional Indonesia dan nasionalisme Melayu.

Semasa Kongres Pemuda Indonesia pertama yang diadakan pada tahun 1926, dalam Sumpah Pemuda, bahasa Melayu telah diisytiharkan sebagai bahasa pemersatu bagi Indonesia. Pada tahun 1945, bahasa yang dinamakan "bahasa Indonesia" telah termaktub sebagai bahasa kebangsaan dalam perlembagaan Indonesia yang baru merdeka. Kemudian, pada 1957, bahasa Melayu telah dinaikkan kepada status bahasa kebangsaan bagi Persekutuan Tanah Melayu yang merdeka (kemudian dibentuk semula sebagai Malaysia pada tahun 1963). Kemudian pada tahun 1959, bahasa Melayu juga menerima status bahasa kebangsaan di Brunei, walaupun ia hanya berhenti menjadi naungan British pada 1984. Apabila Singapura berpisah dari Malaysia pada 1965, bahasa Melayu menjadi bahasa kebangsaan republik baru itu dan salah satu daripada empat bahasa rasmi. Kemunculan negeri-negeri yang baru merdeka ini membuka jalan kepada penggunaan bahasa Melayu (atau Indonesia) yang lebih luas dan meluas dalam pentadbiran kerajaan dan pendidikan. Kolej dan universiti dengan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar utama mereka diperkenalkan dan berkembang sebagai pusat penyelidikan dan penghasilan tulisan intelektual baharu dalam bahasa Melayu yang terkemuka.[34] Selepas kemerdekaan Timor Timur daripada Indonesia, bahasa Indonesia telah ditetapkan oleh perlembagaan negara 2002 sebagai salah satu daripada dua 'bahasa kerja' (satu lagi bahasa Inggeris).

"..Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Melajoe,.."

— Draf bahagian ketiga Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda pertama pada 1926. Istilah Bahasa Melajoe ditukar ke Bahasa Indonesia pada 1928.[35]

Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bagi Indonesia agak terbuka untuk menampung pengaruh dari bahasa kumpulan etnik Indonesia yang lain, Belanda sebagai penjajah terdahulu, dan bahasa Inggeris sebagai bahasa antarabangsa. Akibatnya, bahasa Indonesia mempunyai sumber kata pinjaman yang lebih luas, berbanding bahasa Melayu seperti yang digunakan di Malaysia, Singapura dan Brunei. Telah dicadangkan bahawa bahasa Indonesia adalah bahasa buatan yang dirasmikan pada tahun 1928. Apa yang dimaksudkan di sini ialah bahasa Indonesia direka oleh ahli akademik dan bukannya berkembang secara semula jadi seperti kebanyakan bahasa biasa, untuk menampung tujuan politik untuk menubuhkan bahasa penyatuan rasmi Indonesia. Dengan meminjam banyak daripada banyak bahasa lain ia menyatakan evolusi linguistik semula jadi; sebenarnya, ia adalah semula jadi seperti bahasa seterusnya, seperti yang ditunjukkan dalam kapasiti luar biasa untuk menyerap perbendaharaan kata asing. Evolusi bahasa Indonesia yang berbeza-beza ini membawa kepada keperluan untuk sebuah institusi yang dapat memudahkan penyelarasan dan kerjasama dalam pembangunan linguistik di kalangan negara yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan mereka. Contoh pertama kerjasama linguistik adalah pada tahun 1959 antara Tanah Melayu dan Indonesia, dan ini diperkukuh lagi pada tahun 1972 apabila MBIM (bentuk pendek untuk Majlis Bahasa Indonesia-Malaysia – Dewan Bahasa Indonesia-Malaysia) ditubuhkan. MBIM kemudiannya berkembang menjadi MABBIM (Majlis Bahasa Brunei-Indonesia-Malaysia) pada tahun 1985 dengan kemasukan Brunei sebagai ahli dan Singapura sebagai pemerhati tetap. Institusi penting lain ialah Dewan Bahasa dan Pustaka yang ditubuhkan pada tahun 1956. Ia merupakan badan kerajaan yang bertanggungjawab menyelaras penggunaan bahasa Melayu di Malaysia dan Brunei.

Bentuk ortografik dominan bahasa Melayu Moden berdasarkan skrip Rom atau Latin, abjad Melayu, mula dikembangkan pada awal abad ke-20. Oleh kerana negara-negara berbahasa Melayu dibahagikan antara dua pentadbiran kolonial (Belanda dan Inggeris), dua ortografi ejaan utama yang berbeza telah dibangunkan di Hindia Belanda dan Malaya British masing-masing, dipengaruhi oleh ortografi bahasa kolonial masing-masing. Pada 1901, Sistem ejaan van Ophuijsen (1901–1947) menjadi ortografi baku bagi bahasa Melayu di Hindia Belanda. Pada tahun berikutnya, kerajaan Negeri-Negeri Melayu Bersekutu menubuhkan sebuah suruhanjaya ortografik yang diketuai oleh Sir Richard James Wilkinson yang kemudiannya membangunkan "Sistem Ejaan Wilkinson" (1904–1933). Sistem ejaan ini kemudiannya akan digantikan oleh sistem ejaan Republik (1947–1972) dan Sistem Ejaan Za'ba (1933–1942). Semasa pendudukan Jepun di Tanah Melayu dan Indonesia, muncul satu sistem yang sepatutnya menyeragamkan sistem di kedua-dua negara. Sistem yang dikenali sebagai Fajar Asia nampaknya menggunakan sistem penulisan huruf vokal Republik dan sistem konsonan Malaya. Sistem ini hanya wujud semasa pendudukan Jepun. Pada 1972, satu pengisytiharan dibuat bagi sistem ejaan bersama di kedua-dua negara, yang dikenali sebagai Ejaan Rumi Baharu di Malaysia, dan Ejaan yang Disempurnakan di Indonesia. Dengan pengenalan sistem ejaan biasa yang baharu ini, semua dokumen pentadbiran, bahan pengajaran dan pembelajaran serta semua bentuk komunikasi bertulis adalah berdasarkan sistem ejaan yang agak seragam dan ini membantu dalam komunikasi yang berkesan dan cekap, khususnya dalam pentadbiran dan pendidikan negara.

Walaupun penggunaan abjad Melayu secara meluas dan diinstitusikan, tulisan Jawi kekal sebagai salah satu daripada dua tulisan rasmi di Brunei, dan digunakan sebagai skrip ganti di Malaysia. Penggunaan Jawi sehari-hari dikekalkan di kawasan berpenduduk Melayu yang lebih konservatif seperti Pattani di Thailand dan Kelantan di Malaysia. Jawi juga digunakan dalam pentadbiran agama dan kebudayaan Melayu di Terengganu, Kelantan, Kedah, Perlis dan Johor. Pengaruh tulisan masih ada di Sulu dan Marawi di Filipina, manakala di Indonesia tulisan Jawi masih digunakan secara meluas di wilayah Riau dan Pulau Riau, di mana papan tanda jalan dan tanda bangunan kerajaan ditulis dalam tulisan ini.[36]

Kenapa perlu mempelajari bahasa Arab? Apa manfaatnya? Walaupun kita bukan orang Arab, namun kelebihannya cukup besar jika kita ingin mempelajari bahasa Arab.

7 Sebab kenapa kita mesti luangkan waktu untuk belajar bahasa Arab.   Pertama: Bahasa Arab adalah bahasa Al-Quran. Ini antara sebab utama kita harus mempelajari bahasa Arab. Keistimewaan bahasa Arab disebutkan dalam Al-Qur’an lebih dari sepuluh tempat, di antaranya pada ayat :

‎وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْآنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ . قُرْآنًا عَرَبِيًّا غَيْرَ ذِي عِوَجٍ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ “Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Quran ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran. (Ialah) Al Quran dalam bahasa Arab yang tidak mengandungi keterangan yang terpesong (di dalamnya) supaya mereka bertakwa.” (QS. Az-Zumar: 27-28)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

‎اللِّسَانُ العَرَبِي شِعَارُ الإِسْلاَمِ وَأَهْلِهِ “Bahasa Arab adalah syiar Islam dan syiar kaum muslimin.” Disebutkan dalam Iqtidha’ Shirath Al-Mustaqim.   Kedua: Dengan mempelajari bahasa Arab lebih mudah dalam menghafal,, memahami, mengajarkan dan mengamalkan isi Al-Quran. Dengan modal bahasa Arab akan memudahkan kita dalam memahami hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menghafalkan, menjelaskan serta mengamalkannya.   Ketiga: Orang yang faham bahasa Arab, terutama faham kaedah-kaedah dalam ilmu nahu sorof akan semakin mudah memahami Islam daripada yang tidak mempelajarinya sama sekali. Apalagi jika tugas seseorang sebagai penyampai dakwah, menjadi seorang da’i, atau Ustaz, tentu lebih penting lagi mempelajarinya agar mudah memberikan pemahaman agama yang benar pada orang ramai.

Keempat: Orang yang faham bahasa Arab akan mudah menggali ilmu dari ulama secara langsung atau membaca berbagai karya ulama yang sudah banyak tersebar hingga saat ini.

Kelima: Bahasa Arab itu bahasa yang lembut dan lebih mengenakkan hati, serta menemteramkan jiwa.

Ibnu Katsir saat menjelaskan surat Yusuf ayat kedua menyatakan:

‎لأن لغة العرب أفصح اللغات وأبينها وأوسعها، وأكثرها تأدية للمعاني التي تقوم بالنفوس “Kerana bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, paling jelas, paling luas , dan paling banyak mengandungi makna yang menentramkan jiwa.”   Keenam: Bahasa Arab adalah bahasa yang paling mulia.

Ibnu Katsir rahimahullah juga menyatakan:

‎فلهذا أنزلَ أشرف الكتب بأشرف اللغات، على أشرف الرسل، بسفارة أشرف الملائكة، وكان ذلك في أشرف بقاع الأرض، وابتدئ إنزاله في أشرف شهور السنة وهو رمضان، فكمل من كل الوجوه

“Kerana Al Quran adalah kitab yang paling mulia, diturunkan dengan bahasa yang paling mulia, diajarkan pada Rasul yang paling mulia, disampaikan oleh malaikat yang paling mulia, diturunkan di tempat yang paling mulia di muka bumi, diturunkan pula di bulan yang mulia iaitu bulan Ramadhan. Dari berbagai sisi itu, kita boleh menilai bagaimanakah mulianya kitab suci Al-Qur’an.”

Oleh kerana itu Allah nyatakan tentang bahasa Arab:

‎إِنَّا أَنزلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf: 2)   Ketujuh: Bahasa Arab adalah bahasa yang lurus, mudah difahami dan mudah digunakan sebagai hukum bagi manusia.

Allah menyatakan sendiri:

‎قُرْآَنًا عَرَبِيًّا غَيْرَ ذِي عِوَجٍ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (Ialah) Al Quran dalam bahasa Arab yang tidak mengandungi keterangan yang terpesong (di dalamnya) supaya mereka bertakwa.” (QS. Az-Zumar: 28)

Dalam ayat lain disebutkan:

‎وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ (192) نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ (193) عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ (194) بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ (195) “Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy-Syu’ara: 192-195).

Sebagaimana disebutkan dalam Zaad Al-Masiir karya Ibnul Jauzi, Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab iaitu bahasanya orang Quraisy yang setiap orang mudah memahaminya.

Juga dalam ayat lain disebutkan:

‎وَكَذَلِكَ أَنْزَلْنَاهُ حُكْمًا عَرَبِيًّا “Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quran itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab.” (QS. Ar-Ra’du: 37).

Disebutkan dalam Tafsir Al-Jalalain, bahasa Arab digunakan sebagai hukum di tengah-tengah manusia. Dalam Zaad Al-Masiir disebutkan bahawa bahasa Arab boleh digunakan untuk menerangkan hukum-hukum yang wajib.

Bersyukurlah kerana Allah telah gerakkan hati anda untuk mempelajari bahasa yang paling mulia dan dicintai oleh Allah.

Semoga terus istiqamah dan berusaha dalam mempelajari Bahasa Arab untuk faham Al Quran. Semoga Allah mudahkan untuk mempelajari bahasa Arab.

Semangatlah dalam hal yang bermanfaat untukmu.

Selesai disusun di Darush Sholihin, Panggang, GK, 2 Rabi’uts Tsani 1437 H Oleh Al-Faqir Ila Maghfirati Rabbihi: Muhammad Abduh Tuasikal

Set VCD Bahasa Arab Harfiah (Asas) : http://www.fatehteam.com/bahasa-arab/vcd-bahasa-arab-harfiah/

Sila Klik Link Di Bawah :

Penukaran Bahasa Melayu Klasik Ke Bahasa Melayu Standard

Teknik Menukar Bahasa Melayu Klasik Kepada Bahasa Melayu Moden

Langkah dasar yang dapat dilakukan untuk belajar bahasa Inggris adalah mengenal dan mempelajari abjad bahasa Inggris dengan cara mengeja atau membacanya.

Abjad atau alfabet dalam bahasa Inggris sendiri memang memiliki kesamaan dengan bahasa Indonesia, yakni terdiri dari 26 huruf. Akan tetapi, cara membaca atau spelling huruf dalam bahasa Inggris memiliki perbedaan dengan bahasa Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dikutip dari buku berjudul Sat It: Keunikan Bunyi Bahasa Inggris oleh Gunawan Tambunsaribu, membaca atau mengeja alfabet merupakan pelajaran paling dasar saat awal belajar bahasa.

Nah, bagi kamu yang ingin memulai untuk belajar bahasa Inggris, sebaiknya pelajari terlebih dahulu cara mengeja alfabetnya.

Ilustrasi. Belajar abjad bahasa Inggris dan cara mengejanya (iStockphoto/apagafonova)

Berikut ini ejaan abjad bahasa Inggris yang dihimpun dari English Academy dan sumber lainnya.